Jakarta,PapuaLink.Id – Tim advokasi hak masyarakat Adat Intan Jaya menyampaikan empat tuntutan kepada pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI guna memperhatikan persoalan yang selama ini terjadi di wilayah tersebut.
Dalam audiensi bersama Komisi I DPR RI, di ruang panja Paripurna Komisi I DPR RI, Senin (11/4), Tim Advokasi Hak Masyarakat Adat Intan Jaya memaparkan konflik yang terjadi di Kabupaten Intan Jaya, Papua, selama tiga tahun terakhir.
Konflik bersenjata di Kabupaten Intan Jaya dimulai dengan pengiriman Pasukan Non Organik pada 15 Desember 2019. Saat itu pihak aparat keamanan mempertebal personil organik dan non organik ke Kampung Kulapa, Distrik Hitadipa dan Distrik Ugimba, mulai pukul 07.00 WIT hingga 16.00 WIT (jam 4 sore).
Namun, peristiwa penembakan sebelumnya terjadi terhadap tiga tukang ojek yakni pada 25 Oktober 2019 dan 26 Desember 2019.
TNI dan PT Freeport Indonesia melakukan penandatanganan Nota Kesepahaman (MoU) dalam hal pengamanan wilayah dan kegiatan Freeport, di Timika, Papua.
MoU tersebut dilakukan oleh Panglima TNI saat itu Marsekal TNI Dr. (HC) Hadi Tjahjanto, SIP bersama Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Clayton Allen Wenas, bertempat di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.
Dalam kesempatan itu, Panglima Marsekal Hadi, mengatakan bahwa MoU dengan PT Freeport Indonesia dikategorikan sebagai Obyek Vital Nasional yang berperan strategis.
Lokasi usaha tambang PT. Freeport Indonesia berada di daerah yang sangat sulit, sulit dan unik di Timika, Papua. Disamping itu ada bahaya Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) dan keamanan yang bereskalasi rawan serta perlindungan fluktuatif. Oleh karena itu, diperlukan persetujuan pengamanan yang lengkap dan sinergi antara TNI dan PT Freeport Indonesia.
Masyarakat Intan Jaya berpandangan bahwa kehadiran Pasukan Non Organik ini semata mata untuk mengamankan Rencana Investasi Blok Wabu,oleh MIND ID melalui PT.Aneka Tambang, karena pada tanggal 5 Oktober 2020 Masyarakat Adat Intan Jaya menyatakan Penolakan terhadap MIND ID.
Hingga saat ini, tercatat 48 orang telah menjadi korban dalam konflik bersenjata yang masih sedang terjadi hingga kini. Tim Mediasi Konflik antara TNI/Polri dengan TPNPB dan Tim Advokasi Hak-hak masyarakat adat Kabupaten Intan Jaya melaporkan setidaknya hingga 10 November 2021 sebanyak 50 orang menjadi korban.
Dengan rincian 33 orang warga sipil menjadi korban diantaranya 19 orang meninggal, 1 orang dinyatakan hilang dan 12 orang luka tembak.
Sedangkan korban di pihak TNI-Polri sebanyak 15 orang dengan rincia 8 orang meninggal dunia dan 7 orang luka-luka akibat kontak tembak dengan TPNPB.
Sedangkan di pihak TPNPB 2 orang dilaporkan meninggal dunia dalam kontak tembak selama 3 tahun terakhir.
Jumlah penduduk distrik Sugapa pada tahun 2021 adalah sebanyak 26.214 jiwa yang tersebar di 17 kampung (desa) antara lain Bilogai, Buwisiga, Eknemba, Emondi, Kumlagupa, Mamba, Mbilusiga, Mindau, Ndugusiga, Pesiga, Puyagiya, Sambili, Titigi, Wandoga, Yalai, Yokatapa dan Yoparu.
Masyarakat yang berasal dari kampung Bilogai, Kumbalagupa, Wandoga, Yokatapa, Mamba, Sambili, Yalai, Titigi, Ndugusiga, Eknemba dan Ndugusiga dipastikan sebagian besar penduduknya telah mengungsi ke Nabire, Timika serta kampung-kampung terdekat yang dirasa aman.
Terbaru, sejak 26 Oktober – 11 November 2021 ribuan warga telah mengungsi dan tinggal di 7 posko di Sugapa, antara lain di gereja Katolik Bilogai, gereja Katolik Waboagapa, gereja GKII Tigamajigi, Koramil, Polsek, Puskesmas dan rumah seoarnag pedagang kios. Jumlah totalnya mencapai 5000-an orang.
Selain itu sebagian besar masyarakat dari distrik Hitadipa, Agisiga dan Ugimba juga telah mengungsi. Namun, hingga saat ini belum ada data yang valid tentang jumlah pengungsi dari Kabupaten Intan Jaya. Pada Januari 2020 pengungsi Intan Jaya yang mengungsi ke daerah lain sebanyak 655 orang pada bulan Januari 2020, 359 orang pada Februari dan November 2021 sebanyak 1900 orang. Total masyarakat yang sudah mengungsi ke daerah lain sebanyak 2.914 orang.
Masyarakat Intan Jaya telah mengungsi ke Nabire dan Intan Jaya, sebagian anak anaknya telah pindah dan bersekolah di Nabire, Jayapura dan diluar Papua.
Terkait itu, tim advokasi hak masyarakat adat Intan Jaya yang diikuti oleh, Ketua LMA Intan Jaya, Thobias Kobogau, Perwakilan Masyarakat dan Mahasiswa Intan jaya didampingi Ketua Poksus DPR Papua, John NR Gobai, Tim menyampaikan agar pemerintah dapat memperhatikan beragam persoalan yang disampaikan di atas, terutama mengenai kekerasan negara dan dampkanya bagi masyarakat sipil di Tanah Papua.
Pihaknya merekomendasikan kepada pemerintah dan DPR untuk :
- Pimpinan DPR RI dan Pimpinan Komisi I mengevaluasi kebijakan pemerintah dalam penanganan konflik di provinsi Papua dan Papua Barat oleh DPR RI (Komisi I ) dengan Menteri Koordinator Politik Hukum HAM dan Keamanan, Menteri Pertahanan, Menteri ESDM, Menteri BUMN, Panglima TNI dan Kapolri.
- Meminta kepada pimpinan Komisi I DPR RI untuk mengundang Pemerintah Provinsi Papua, DPR Provinsi Papua, Majelis Rakyat Papua (MRP), Kapolda Papua dan Papua Barat, Pangdam XVII Cenderawasih dan Pangdam XVIII Kasuari, Pemerintah Kabupaten Intan Jaya, Pemerintah Kabupaten Pegunungan Bintang, Pemerintah Kabupaten Puncak, Pemerintah Kabupaten Nduga, Pemerintah Kabupaten Yahukimo dan Pemerintah Kabupaten Maybrat Provinsi Papua Barat bersama Perwakilan Masyarakat untuk hadir dalam rapat gabungan.
- Mendesak Pemerintah Pusat untuk segera menarik seluruh anggota keamanan TNI dan Polri non organik yang dikirim ke Kabupaten Intan Jaya
- Pemerintah Pusat dan daerah harus mengembalikan Pengungsi Intan Jaya kembali ke Kampung halamannya di Intan Jaya dan mengutamakan keselamatan dan kedamaian di intan jaya dengan mengupayakan pelayanan sosial yang baik.