Jayapura,PapuaLink.id – Majelis hakim Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jayapura yang menolak gugatan lingkungan hidup dan perubahan iklim terhadap Pemerintah Provinsi Papua atas penerbitan izin kelayakan lingkungan hidup PT Indo Asiana Lestari (PT IAL) Gugatan itu dilayangkan Hendrikus Woro, pejuang lingkungan hidup dari suku Awyu.
Dalam putusan yang diunggah Kamis (2/11), majelis hakim menyatakan menolak gugatan tersebut.
Hakim menyatakan tidak dapat mempertimbangkan prosedur penerbitan amdal karena bukan bagian dari obyek sengketa dalam perkara ini, yakni SK Kepala Dinas Penanaman Modal dan PTSP Papua tentang izin kelayakan lingkungan hidup untuk PT IAL.
Hendrikus Woro dan Tim Advokasi selamatkan Hutan Papua menyesalkan putusan hakim tersebut.
Kata mereka, Amdal jelas merupakan lampiran dan dasar penerbitan obyek sengketa.
“Kami menilai hakim keliru mempertimbangkan telah terjadi partisipasi bermakna hanya menggunakan sebuah surat dukungan investasi dari Lembaga Masyarakat Adat (LMA) Kabupaten Boven Digoel. (LMA tak punya kewenangan tersebut).
LMA tidak merepresentasikan masyarakat adat Awyu dan marga Woro, dan juga tidak punya hak untuk menyetujui pelepasan hutan milik masyarakat adat. Ini mengabaikan prinsip persetujuan atas dasar informasi di awal tanpa paksaan (free, prior, and informed consent) langsung dari masyarakat terdampak,” kata Tigor Hutapea, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dalam keterangannya, Jumat (3/11).
Hendrikus Woro, yang mengajukan gugatan tersebut tak bisa menyembunyikan kekecewaannya.
Namun, ia tak akan pernah mundur dan berencana mengajukan banding.
“Saya sedih dan kecewa sekali karena yang saya perjuangkan seperti sia-sia. Namun saya tidak akan pernah mundur, saya akan terus maju. Saya siap mati demi tanah saya, karena itu yang tete nene leluhur wariskan untuk saya. Jika hakim tidak percaya, terjun ke lapangan untuk lihat langsung. Saya juga sedih karena teman-teman lain sudah luar biasa mendukung kami. Mereka tidak punya tanah di sini tapi mereka luangkan waktu, tenaga, dan pikiran untuk kami masyarakat adat. Namun hakim tidak melihat persoalan itu dan tidak memutuskan dengan seadil-adilnya,” kata dia.
Selama tujuh bulan persidangan, Hendrikus Woro dan kuasa hukumnya sudah menghadirkan 102 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga orang saksi ahli.
Alat-alat bukti dan saksi dari pihak suku Awyu ini menurutnya jelas menunjukkan kejanggalan dalam penerbitan izin PT IAL.
Misalnya, penyusunan dokumen analisis
mengenai dampak lingkungan (amdal) yang tidak melibatkan partisipasi bermakna dari masyarakat adat, adanya intimidasi terhadap masyarakat yang menolak perusahaan sawit, hingga tidak diakuinya keberadaan marga Woro dalam peta versi perusahaan.
Putusan tersebut juga menegasikan potensi dampak iklim jika PT IAL membuka kebun sawit dan melakukan deforestasi di hutan adat suku Awyu.
Jika deforestasi itu terjadi, potensi emisi karbon yang lepas setidaknya sebesar 23 juta ton CO2.
“Ini akan menyumbang lima persen dari proyeksi tingkat emisi karbon Indonesia tahun 2030. Majelis hakim gagal memahami kasus ini sebagai gugatan lingkungan dan perubahan iklim, serta gagal memahami penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2023 tentang Pedoman Mengadili Perkara Lingkungan Hidup.
“Kami kecewa dengan putusan hakim dan akan memperjuangkan kasus ini sampai menang demi tegaknya hak masyarakat adat, selamatnya hutan Papua dari kerusakan yang masif, dan menahan lajukrisis iklim. Ini putusan yang janggal, hakim bukan saja tidak berpihak kepada masyarakat adat dan lingkungan, tapi juga seperti mengabaikan banyaknya fakta-fakta persidangan,” kata Sekar Banjaran Aji, anggota tim kuasa hukum suku Awyu.
Emanuel Gobay, anggota tim kuasa hukum suku Awyu dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua menambahkan, pihaknya akan banding untuk menyangkut hak-hak masyarakat adat Papua yang telah diabaikan dan dilanggar.
“Kami juga akan melakukan upaya-upaya hukum untuk mengevaluasi sikap hakim dalam memutus perkara ini. Meski satu dari tiga majelis hakim memiliki sertifikasi hakim lingkungan, ternyata pertimbangan putusan tidak sesuai prinsip hukum lingkungan. Ini misalnya terlihat dalam sikap hakim yang tidak mempertimbangkan substansi amdal yang bermasalah dan menolak permintaan kami untuk pemeriksaan lapangan,” katanya.
Selama persidangan bergulir, banyak dukungan mengalir untuk suku Awyu. Berbagai pihak mengirimkan amicus curiae (sahabat peradilan), mulai dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), ahli litigasi iklim I Gede Agung Made Wardana, Pusat Kajian Hukum Adat Djojodigoeno, Koalisi Kampung untuk Demokrasi Papua, dan Greenpeace Indonesia.
Gerakan Solidaritas Pelindungan Hutan Adat Papua yang didukung 258 organisasi masyarakat sipil, akademisi, dan individu dari berbagai daerah dan negara, termasuk solidaritas dari masyarakat adat Ka’apor, Amazon, Brazil, juga telah membuat surat terbuka dan menyerahkannya kepada majelis hakim PTUN Jayapura, Ketua Komisi Yudisial, Ketua Mahkamah Agung, dan Komnas HAM.
Mereka menuntut dan memohon majelis hakim berpegang teguh pada prinsip in dubio pro natura, yang bermakna ‘jika hakim mengalami keragu-raguan mengenai bukti, maka hakim mengedepankan pelindungan lingkungan dalam putusannya demi kelanjutan hutan Papua yang menjadi sumber kehidupan masyarakat adat Papua.(Redaksi)