Jayapura,PapuaLink.Id – Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Emanuel Gobay menilai nihilnya perlindungan anak dalam kebijakan pertahanan dan keamanan di Papua. Padahal, menururnya, negara melalui aparat keamanan wajib memenuhi, melindungi dan menghormati apa yang menjadi hak setiap anak.
Ia menjelaskan, pada prinsipnya setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan mulai dari penyalahgunaan dalam kegiatan politik, pelibatan dalam sengketa bersenjata, pelibatan dalam kerusuhan sosial, pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan hingga pelibatan dalam peperangan dan kejahatan seksual.
Hal itu, sambung Emanuel, sebagaimana diatur pada Pasal 15, UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
“Tapi yang disayangkan sekalipun demikian, namun pada prakteknya masih banyak anak-anak yang tidak mendapatkan perlindungan sebagaimana dimaksudkan di atas,” jelasnya melalui rilis yang diterima media ini, Selasa (22/11/2022).
Dengan menyadari bahwa di semua negara di dunia terdapat anak-anak yang hidup dalam keadaan yang sangat sulit, dan anak-anak seperti itu memerlukan perhatian khusus, sehingga dirumuskannya Konvensi Tentang Hak Anak yang telah diratifikasi kedalam sistim hukum Indonesia berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Tentang Hak-hak Anak.
Selain itu, kebijakan perlindungan terhadap anak nasional yang dijamin sebagaimana dalam ketentuan terkait yakni setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sebagaimana diatur pada Pasal 28b ayat (2), UUD 1945.
Masih dijelaskan Emanuel, dalam rangka mengefektifkan jaminan perlindungan anak, maka negara telah diberikan kewajiban sesuai ketentuan untuk menjamin pemenuhan hak anak, negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
“Tapi oada prakteknya jaminan perlindungan terhadap anak di wilayah papua masih jauh dari harapan ketentuan hukum diatas. Salah satu fakta nihilnya perlindungan terhadap anak di Papua terlihat dalam kasus implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua yang menjadi kewenanganan pusat sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua,” paparnya.
Ditegaskan Emanuel, ditemuka sejumlah fakta pelanggaran hak-hak anak dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua sebagaimana terlihat melalui kebijakan pendropan pasukan di beberapa kabupaten di Papua sejak tahun 2018 sampai dengan tahun 2022.
Ia menyebutkan sebagaimana yang terjadi di Kabupaten Nduga, Kabupaten Intan Jaya, Kabupaten Mimika, Kabupaten Puncak Papua, Kabupaten Pegunungan Bintang dan Kabupaten Maybrat, di mana tercatat tingginya jasus penggungsian yang mayoritas diisi oleh anak-anak yang belum mampu ditanggani secara maksimal oleh negara melalui Pemerintah sesuai ketentuan Pasal 28b ayat (2), UUD 1945 junto Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Terlepas dari itu, kata dia, adapula kasus kekerasan yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan terhadap anak selama tahun 2022 yang terus meningkat di wilayah papua sebagaimana dalam beberapa kasus.
Pertama, kasus oknum anggota menginterogasi dan menyiksa tujuh anak secara berulang kali dengan kabel dan besi dari 23 Maret 2022 hingga 24 Maret 2022 di Kabupaten Puncak Papua. Ketujuh anak korban tindakan kekerasan serta penyiksaan yaitu : 1. DM (SD kelas 5), 2. DK (SD Kelas 4), 3. FW, 4. EM, 5. AM, 6. WM, 7. Makilon Tabuni (SD Kelas 6). Pemberitaan penyiksaan tujuh anak tersebut bisa dibaca di https://www.kompas.id/baca/nusantara/2022/03/24/investigasi-komnas-ham-anggota-tni-diduga-aniaya-tujuh-anak-di-sinak).
Kedua, dalam kasus pembunuhan dan multilasi yang melibatkan oknum anggota TNI sebagai pelaku yang terjadi pada tanggal 22 Agustus 2022 terlihat Salah satu korban pembunuhan dan mutilasi masih berusia anak. Hal tersebut dibuktikan dengan data administrasi kependudukan berupa kartu keluarga yang menyatakan bahwa korban JT masih berusia 17 tahun (Baca : https://kontras.org/2022/09/23/temuan-atas-investigasi-kasus-pembunuhan-dan-mutilasi-empat-warga-sipil-di-mimika-papua/).
Ketiga, kasus kekerasan dalam bentuk penyiksaan dan penganiayaan terhadap anak yang dilakukan oleh oknum aparat keamanan terhadap Rahmat Faisei (14) bersama dua temannya, Bastian Bate (13) dan Laurents Kaung (11) yang dilakukan prajurit TNI AD pada tanggal 28 Oktober 2022 di Kabupaten Keerom (Baca : https://jubi.id/tanah-papua/2022/3-anak-di-keerom-diduga-dianiaya-prajurit-tni-ad-dengan-rantai-gulungan-kawat-dan-selang-air/).
Keempat, kasus tertembaknya seorang anak perempuan berinisial ED di Kampung Yokatapa, Distrik Sugapa, Kabupaten Intan Jaya pada tanggal 4 November 2022 (baca : https://suarapapua.com/2022/11/04/aparat-tembak-seorang-anak-perempuan-dan-satu-pemuda-yang-diduga-anggota-tpnpb-di-sugapa/).
“Nah, dari beberapa kasus yang dialami anak-anak Papua di atas sudah dapat menunjukan fakta bahwa dalam perayaan Hari Annak Sedunia pada tahun 2022 menunjukan tingginya kasus kekerasan terhadap anak dalam praktek pendekatan keamanan di Papua yang terjadi secara berulang di tempat yang berbeda-beda,” simpulnya.
“Kejadian dengan bentuk yang beragam mulai dari pendropan pasukan yang berujung pada terjadinya penggungsian yang diisi oleh anak-anak, tindakan penganiayaan terhadap anak, tindakan penyiksaan terhadap anak, tindakan penyalahgunaan senjata api terhadap anak dan pembunuhan dengan cara multilasi terhadap anak,” imbuh Emanuel.
Dengan demikian, melihat erbagai kasus kekerasan terhadap anak di atas secara langsung menunjukan nihilnya implementasi ketentuan dalam menjamin pemenuhan hak anak.
Padahal, Emanuel kembali mempertegas bahwa negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak sebagaimana diatur pada Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak oleh aparat keamanan yang menjalankan pendekatan keamanan di Papua.
“Sayangnya, pada prakteknya masih menunjukan kondisi ketidaknyamanan anak-anak Papua dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan yang menjadi kewenangan pusat sesuai dengan ketentuan Pasal 4 ayat (1), UU Nomor 2 Tahun 2021 tentang Perubahan Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Propinsi Papua,” terangnya.
Atas dasar kesimpulan di atas, LBH Papua mengunakan kewenangan terkait setiap orang, kelompok, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau lembaga kemasyarakatan lainnya, berhak berpartisipasi dalam perlindungan, penegakan,dan pemajuanhak asasi manusiasebagaimana diatur pada Pasal 100, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pertama, Presiden Republik Indonesia dalam menjalankan kewenangan pertahanan keamanan di Papua wajib menjalankan ketentuan negara berkewajiban untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak sesuai Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014;
Kedua, Ketua DPR RI segera mengawasi kewajiban memenuhi, melindungi, dan menghormati hak anak sesuai Pasal 21 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014 dalam implementasi kebijakan pertahanan keamanan di Papua.
Ketiga, Panglima TNI segera proses hukum seluruh oknum anggota TNI pelaku tindakan kekerasan terhadap anak di Papua;
Keempat, Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) segera menjalan tugas sesuai Pasal 76, UU Nomor 35 Tahun 2014 di Papua;
Kelima, Pemerintah Propinsi, Kabupaten dan Kota di Papua segera membentuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sesuai perintah Pasal 74 ayat (2), UU Nomor 35 Tahun 2014. (Redaksi)