Jayapura,PapuaLink.Id – Adolfina Kum selaku koordinator Lembaga Peduli Masyarakat Mimika Timur Jauh (Lepemawil) Mimika Timur mengungkapkan kehadiran PT Freeport sejak tahun 1967 melalui Undang-Undang Penanaman Modal Asing No.1 tahun 1967 di wilayah adat Suku Amungme dan Kamoro, telah memberikan dampak bagi aspek perubahan lingkungan hidup dan kerusakan lingkungan hidup.
Pasalnya, perusahaan tambang terbesar di dunia ini telah membuang limbah beracun kimia ke Sungai Ajikwa atau Wanogong suku asli di wilayah pesisir Timika yakni suku Amungme, dan suku Sempan di Distrik Agimuga, Distrik Jila, dan Distrik Manasari di Wilayah Mimika Timur Jauh, Kabupaten Mimika.
“Ini menjadi malapetaka yang harus di derita bertahun-tahun bagi masyarakat yang terdampak limbah Freeport ini,” ungkap Adolfina dalam dialog bersama Poksus DPR Papua di Jayapura, Selaaa (1/11/22).
Kum melanjutkan, selama kurun waktu 10 tahun sejak 2013, komunitasnya telah melakukan advokasi non litigasi mulai daei mediasi, sosialisasi, pendokumentasian, riset dan kampanye, guna membangun pendidikan kesadaran bagi perempuan korban di area lingkar tambang.
“Kami juga melobi dan negosias! ke Pemerintah dan pihak manajemen Freeport terkait dampak pembuangan limbah ke wilayah pesisir. Kami bicara soal nasib 6,484 (data statistik timika dalam angka tahun 2019 – 2020 ) penduduk di 3 distrik itu yang saat ini tidak lagi memiliki akses jalur transportasi laut karena sungai yang menjadi jalur transportasi utama mereka telah mengalami sendimentasi dan pendangkalan akibat pembuangan Ilmbah,” jelas Kum.
Sebagai anak adat dan juga sebagai perempuan pemberi kehidupan di sekitarnya, Kum merasa memiliki tanggung jawab untuk memediasi masalah ini kepada pihak Pemerintah, LSM, Lembaga Adat dan juga khususnya PT Freeport sebagai pelaku akar masalah pencemaran lingkungan serta pembunuh segala habitat’ di Tanah Amungsa Bumi Kamoro.
Dalam hearing itu, Kum juga membeberkan 10 permasalahan urgen yang ditemukan di lapangan.
Pertama hilangnya budaya dan mitos Suku Asli setempat. Kedua, hilangnya mata pencaharian. Ketiga, krisis pangan lokal. Keempat, krisis air bersih. Kelima, kesehatan terganggu. Keenam, pohon mengering. Ketujuh, kematian ikan secara massal. Kedepalan, tertimbunya sungai oleh limbah. Kesembilan, akses jalur transportasi laut yang terisolir dan kesepuluh, pengungsian masyarakat adat.
Dari 10 temuan itu, Kum memastikan bahwa kehadiran Freeport selama 56 tahun bagi suku Amungme, Kamoro, dan Sempan merubah kehidupan peradaban mereka yang dipicu oleh pembuangan limbah beracun kimia ke sungai Ajikwa /Wanogong.
Akibat pencemaran limbah jahat ke sungai, masyarakat pun mengalami krsis air bersih, ekosistem laut dan darat rusak terkontaminasi limbah ,tempat keramat hilang ,degradasi pulau kecil, kematian ikan secara masal dan akanan laut mulai mati perlahan-lahan.
“Ya, sehari-hari mereka menghirup dan mengkonsumsi air sungai yang tercemar , kehilangan produksi pangan lokal (sagu), ubi, talas dan pisang, dan juga kehilangan tempat berburu di hutan, sungal ,laut ,pohon mengering. Kemudian sungai jadi dangkal dan hilang karena sendimentasi,kehilangan dusun yang berakibat pengungsian di atas tanah adat mereka sendiri,” papar Kum.
Limbah Freeport juga mengakibatkan wabah penyakit seperti penyakit kulit, penyakit menular, hingga Ispa (infeksi pernapasan).
“Ini yang kami jumpai dalam masyarakat di kampung, yang seolah- olah ini jadi penyakit turunan moyang kami,” katanya kesal.
Sementara itu Ketua Poksus DPR Papua, John NR Gobai mengapresiasi keluh kesah Tim Aktivitas Lingkungan di Mimika yang dikoordinir Doli Kum.
Menurut John Gobai, tim ini selalu melakukan advokasi terhadap kerusakan lingkungan hingga pendangkalan sungai yang terjadi di Mimika Timur Jauh.
“Ya, kerusakan lingkungan ini menurut informasi terjadi karena operasi dari pertambangan PT Freeport Indonesia,” sebutnya.
Sebagai anggota DPR Papua yang mewakili wilayah dari Nabire hinhha Mimika, sambung John Gobai, ia juga sudah sering berkunjung ke Mimika dan mendengarkan langsung keluh kesah warga yang ada di Mimika, termasuk dari anggota DPRD setempat.
“Nanti kami akan lakukan Fokus Grup Diskusi (FGD) untuk mencari solusi dan menjembatani tim ini agar dapat berkomunikasi dengan pihak-pihak terkait. Dan melalui FGD kami percaya Tuhan pasti menolong kami,” pungkas John Gobai.(Redaksi)