Jayapura,PapuaLink.Id – Irjen Mathius D. Fakhiri sejak tanggal 4 Maret 2024 kemarin, resmi dilantik sebagai Kapolda Papua. Sejak saat itu hingga kini sudah tiga tahun ia menjabat dengan dinamika situasi keamanan di wilayah yang kini sudah terbagi menjadi empat provinsi.
Selama memegang tongkat komandan, Irjen Mathius yang sudah belasan tahun bertugas di Papua, lebih mengedepankan penanganan restoratif sebagai upaya awal penindakan hukum dan merupakan langkah pencegahan agar situasi keamanan tetap terkendali.
Cara ini telah digunakan Irjen Mathius sejak dirinya menjabat sebagai Kapolres Jayapura pada tahun 2009. Dia menilai, cara ini dianggap lebih tepat karena mengedepankan unsur-unsur budaya di masyarakat Papua.
“Sejak Kapolres saya memilih pendekatan itu. Di Papua lebih tepat untuk dilakukan karena lebih mengedepankan pendekatan budaya,” kata Irjen Mathius D. Fakhiri kepada wartawan di Kota Jayapura, Papua, Jumat (8/3/2024).
Selain itu, jenderal polisi bintang dua ini mengatakan, pihaknya berusaha meminimalisir pola penanganan yang represif. Dia beralasan, cara tersebut tidak cocok dan sangat sensitif bagi masyarakat di Tanah Papua.
“Di satu sisi kami berusaha menghilangkan pola penanganan represif yang sangat sensitif di Papua,” ungkapnya.
Alumni SMAN 2 Kota Jayapura ini pun mencontohkan, seperti saat kasus penembakan terhadap seorang aktivis Papua sekaligus Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB) Mako Tabuni pada 2015 silam. Kemudian, kerusuhan akibat isu rasisme pada tahun 2019 lalu.
“Sudah ada beberapa contoh yang membuat situasi keamanan di Papua mencekam, seperti 2015 saat kasus penembakan Mako Tabuni lalu puncaknya kerusuhan 2019,” bebernya.
Dua contoh kasus tersebut menjadi pelajaran bagi Mathius saat dirinya dipercaya memegang tongkat komando Polda Papua. Mathius yang pernah bertugas sebagai Kapolres Jayapura pun tak ingin dua insiden tersebut kembali terulang saat dirinya menjadi Kapolda Papua.
Buktinya, Mathius berhasil meredam situasi saat prosesi pengantaran jenazah mantan Gubernur Papua Lukas Enembe pada Kamis (26/12/2023) lalu. Padahal, ketika itu juga muncul isu yang bisa menyebabkan polemik di tengah masyarakat, khususnya Orang Asli Papua (OAP).
“Meninggalnya pak Lukas itu disertai isu sensitif bagi OAP, tetapi itu akhirnya bisa dilalui dengan komunikasi kebudayaan yang sudah cukup lama kami bangun,” imbuhnya.
Sementara itu terkait agenda nasional seperti Pemilu 2024 kali ini, Mathius sendiri telah menyiapkan sejumlah rencana dan langkah-langkah. Hal itu dilakukan untuk meminimalisir adanya konflik dari dampak Pemilu tersebut.
“Saya menginisiasi dengan seluruh pihak untuk mengamankan agenda nasional. Sudah dipersiapkan langkah antisipasi bila proses Pemilu akhirnya memanas,” sambungnya.
Jenderal yang lahir pada 6 Januari 1968 tersebut menjelaskan, antisipasi tersebut bisa dilakukan dengan berkomunikasi dengan seluruh pihak. Mathius sendiri selalu berusaha menjadi jembatan dalam menjalin komunikasi agar bisa menemukan jalan atau solusi yang terbaik dari permasalahan itu.
“Yang paling penting itu komunikasi, saya selalu berusaha menjadi jembatan komunikasi ke semua pihak, untuk mencari jalan untuk mencapai hasil terbaik,” kata Mathius lagi.
Kendati begitu, dikatakan Mathius lebih lanjut, perlu adanya perbaikan untuk menuju tahun 2029 mendatang. Dia ingin, masyarakat Papua dapat introspeksi dan mulai memperbaiki diri supaya aksi-aksi yang bersifat anarkis tidak akan kembali terjadi.
“Perlu perbaikan menuju 2029, kita orang Papua harus memperbaiki diri agar protes-protes itu bisa mendapat tempat yang tepat dan menghilangkan aksi anarkis,” harapnya.
Sedangkan terkait kasus penyanderaan pilot Susi Air Philip Mark Mehrtens oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) pimpinan Egianus Kogoya. Dia menuturkan, kasus ini merupakan tanggung jawab semua pihak yang harus diselesaikan dengan cara pendekatan sosial dan budaya.
“Mengenai pilot itu tanggung jawab bersama, tapi yang paling penting adalah pendekatan sosiokultural demi keselamatan pilot,”pungkasnya.
Salah satu tokoh adat di Papua, Yanto Eluay, mengapresiasi terhadap 3 tahun kepemimpinan Mathius sebagai Kapolda Papua. Baginya, mantan Kapolres Kaimana tersebut merupakan sosok putra Papua yang tegas dalam mengambil keputusan.
“Kami selaku tokoh adat ya melihat pak Fakhiri sebagai salah satu putra Papua yang dipercayakan pemerintah khususnya di Kepolisian sebagai Kapolda di Papua telah menjalankan tugas, tupoksi beliau secara baik,” kata Yanto Eluay.
Yanto Eluay juga mengapresiasi atas pendekatan melalui sosial dan budaya yang dilakukan oleh Mathius dalam penegakan hukum di Papua. Pasalnya, dia menilai, cara ini cukup efektif bagi masyarakat Papua.
“Iya dari sisi pendekatan-pendekatan keamanan khususnya dari sisi kebudayaan, adat istiadat di Papua sangat baik juga. Cukup maksimal,” pujinya.
Selanjutnya, dia berharap, figur dan ketegasan Mathius ini bisa menjadi contoh bagi siapa pun yang nanti dipercaya mengemban amanat sebagai Kapolda Papua yang baru. Dia ingin, Kapolda yang baru nanti bisa bertindak tegas dan tanpa kompromi.
“Siapa pun dia saya kira masyarakat Papua Kapolda yang ditugaskan di Papua tidak boleh kompromi dengan gerakan-gerakan yang berlawanan dengan negara ini,” tandasnya.